Sunday, January 18, 2015

HOPE


“Empuk.. hmm kenyal.., kataku spontan sambil mengunyah permen.”
Cring cring cring .. dalam sekejab kurasakan tubuhku seringan kapas.
Aku terhenyak. Oh! Ku pandangi sekelilingku. Aku terduduk di bawah pohon besar yang rindang di pusat hutan. Indaaaaah sekali, gumamku.
Setengah jongkok, ku kencangkan tali sepatuku. Pelan-pelan ku berjalan ke depan, ku susuri dedaunan menggantung  menjuntai dari atas bak dinding.
Krucuuuuk kkkk, kurasakan perutku bernyanyi. Aduuuuh, aku lapar..”
Sambil terus berjalan, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Hei !”
Setengah tersentak mataku membelalak kaget. Aku tak berani bergerak.


Jangan takut, aku manusia hihihi kikiknya di belakangku.
Sambil menoleh, ku ayun pundakku. Ku pandangi pria itu, aku tak kenal; siapa dia?
“Tersesat? Tanyanya.
Sebelum ku jawab, “ Sama, aku juga tersesat;sejak dua hari yang lalu tepatnya..”
Tanpa ku sadari, tiba-tiba saja dia sudah berjalan di depanku. Dalam diam aku mengikutinya.
“Sudah makan?”
“Belum, jawabku.”
Tangannya berusaha mengapai-gapai sesuatu di balik rimbunan daun yang menjuntai dari atas tadi. Shshshrrroggh, dalam sekejap aku melihat tangannya menggenggam sesuatu.
“Ini, makanlah...”
“Apa ini? Tanyaku.”
“Entahlah, aku sendiri tak tahu apa itu. Buah itu aman. Kalau beracun, pastilah aku sudah mati sejak dua hari yang lalu, hihihi...
Lagi-lagi dia terkikik.
“Terima kasih, balasku.”
Ku usap buah tadi ke jaket mantelku, ku gigit daaaan...
Ada sensasi yang aneh tiba-tiba muncul dalam tubuhku. Mendadak rasanya enak, tanpa penat. “Apa ini? Tanyaku lagi.
“Apa kau merasakannya? Tubuhmu bugar? Jawabnya.”
“Bagus, itulah pengganjal perutmu saat ini. Kita tidak bisa berhenti dan duduk, kita akan terus berjalan dan sesekali memakan buah tadi.”
“Kenapa? Apa banyak singa mengintai kita? Bukankah malam hari gelap? Kita tidak punya apa-apa. Bagaimana kau melihat saat malam tiba?
“Tidak. Sama sekali tidak ada singa dan hewan buas lainnya di sini. Oh ya. Kau baru tersesat, pantas saja tidak tahu. Di sini tidak pernah gelap.”
“Lantas kenapa kita harus berjalan terus seperti ini?”
“Kau ingin tahu? Baiklah.. kita duduk sebentar di sana. Sambil menunjuk pinggiran sungai dia terus berjalan. Aku mengikutinya dari belakang.
Sambil mengamati dan meneguk air sungai nan jernih, aku mengusap-usap wajah kusutku. Ku lihat dia juga melakukan hal yang sama.
Dengan alis terangkat, spontan aku teriak Aaaaaaaaaaaa !! Kenapa wajahku membengkak? Tubuhku?? Ohhhh !! aku terhenyak kaget melihatnya membengkak sama sepertiku.

Tubuh kami membengkak.
“Sekarang kau sudah tahu? Itulah kenapa aku terus mengajakmu berjalan, jangan berhenti, katanya sambil mengelus pipiku.”
“Aneh, siapa dia? gumamku dalam hati.”
Sepanjang perjalanan aku terus terdiam. Tak ada satu pun diantara kami yang berkenalan. Aku hanya mengikutinya karena instingku bilang itu lebih aman. Dan tubuh kami pun kembali normal. 


Seperti tidak ada sekat, jalanan di sini lurus dan panjang. Aku lupa bahwa aku tersesat dengannya. Orang aneh yang cerdas, pikirku.”
Sedikit melambat, tangannya menjulur ke arahku. “Makanlah..”
Lagi-lagi dia sorongkan buah aneh itu ke arahku. “Terima kasih, balasku.”
“Jangan sungkan hihihi, timpalnya.”
Ku rasakan tubuhku kembali bugar. Kakiku yang tadinya linu karena terus berjalan, kini terasa ringan. “Seandainya buah ini bisa ku bawa pulang-sudah pasti semua orang senang; tidak perlu berebut pekerjaan demi ikan dan nasi, khayalku.”
“Hei! Bentaknya lirih. Apa kau masih bersamaku?”
“Oh, maaf jawabku.” Darimana kau tahu aku melamun? tanyaku balik.”
“Jalanmu terseok-seok, balasnya.”
“Kenapa kau tak pernah menanyai namaku?”
“Karena aku sudah tahu namamu.”
Sambil menoleh dia tersenyum.
“Aku akan mengantarmu pulang.” Darimana kau tahu aku ingin pulang? balasku.”
“Dari lamunanmu tadi, jawabnya.”
Ah, aku pikir dia hanya ingin menghiburku. Mana mungkin dia bisa membaca pikiranku. Kami sama-sama tersesat. Mana ada orang tersesat seperti itu? Pikiranku berkecamuk.
“Aku bercanda, hihihi... dia terkikik di depanku.
“Sudah ku duga, batinku.”
“Baiklah, kenapa kita tidak berkenalan? tanyaku lagi.”
Dengan nada berat dia pun menjawab, “Kalau kau ingin tahu namaku dan aku pun demikian-kita tidak akan bisa pulang.”
Benarkah? Kenapa aku harus percaya padanya? Tapi, seandainya aku berjalan sendirian aku tidak akan pernah sampai ke sini. Pasti aku kelaparan dan pingsan sejak tadi. Dialah yang menolongku. Sebaiknya ku buang jauh-jauh niat berkenalan itu. Yang terpenting adalah aku bisa pulang. Mungkin setelah itu bisa ku ambil lagi niat perkenalan tadi, pikirku.
“Satu-satunya jalan yang bisa kita tempuh untuk pulang adalah harapan. Harapan bahwa kau masih ingin tahu siapa aku, berkenalan denganku begitu juga sebaliknya.” dia menambahkan dengan nada serius.
Aku pun mengangguk, setuju.
Berjalan, kami terus berjalan sambil sesekali memakan buah aneh agar tubuh kami tetap bugar dan bisa terus melanjutkan perjalanan pulang. Jalan ini memang tidak berkelok, bahkan dari jauh pun kami tidak akan bisa menebak apa di ujung sana ada kejutan atau tidak. Satu-satunya hal yang kami miliki adalah harapan itu.
Kami tak lagi peduli seperti apa kondisi kami sekarang. Jaket mantelku mulai kubas. Meskipun tubuhku terasa bugar, mukaku terasa berat dan tebal. Bagaimana tidak, kami tak pernah mandi. Mana mungkin kami bisa mandi jikalau kami berhenti dan menyeka wajah dengan air  sungai saja tubuh kami terus menggelembung dan membengkak seperti balon. Meskipun ini aneh, aku mulai terbiasa dengannya. Kadang sepanjang perjalanan hanya derak kaki kami yang ada. Tak satu pun dari kami bersuara.
Perjalanan kami pun sudah semakin jauh. Aku mulai sadar kalau dia tak sesering seperti sebelumnya menyorongiku buah aneh itu. Anehnya, aku tak mengeluh. Setengah sadar dan tidak, ku usap-usap mataku antara percaya atau halusinasi-sekarang aku berjalan terhuyung sendirian!! Astaga,  ke mana perginya lelaki itu!! Aku panik melihat sekelilingku. Ku rasakan sepeerti ada sesuatu di tangan kananku. Ku lihat ada secarik kertas ku genggam. Ku amati kertas itu, dan secepat kilat ku baca isinya.

“selamat, kamu berhasil melewati semuanya..
Tak ada yang lebih berharga dalam dirimu sendiri kecuali keyakinan dan harapan yang terus kau jaga di sana, di hatimu...”

Masa lalu

1 comment:

  1. Harapan dan keyakinan, itu yang akan membuat kita semangat menjalani hidup...
    Salam, Ajeng!
    :D

    ReplyDelete

Please give your comments in writing ...