“Empuk..
hmm kenyal.., kataku spontan sambil mengunyah permen.”
Cring
cring cring .. dalam sekejab kurasakan tubuhku seringan kapas.
Aku
terhenyak. Oh! Ku pandangi sekelilingku. Aku terduduk di bawah pohon besar yang
rindang di pusat hutan. Indaaaaah sekali, gumamku.
Setengah
jongkok, ku kencangkan tali sepatuku. Pelan-pelan ku berjalan ke depan, ku
susuri dedaunan menggantung menjuntai
dari atas bak dinding.
Krucuuuuk
kkkk, kurasakan perutku bernyanyi. Aduuuuh, aku lapar..”
Sambil
terus berjalan, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Hei
!”
Setengah
tersentak mataku membelalak kaget. Aku tak berani bergerak.
Jangan
takut, aku manusia hihihi kikiknya di belakangku.
Sambil
menoleh, ku ayun pundakku. Ku pandangi pria itu, aku tak kenal; siapa dia?
“Tersesat?
Tanyanya.
Sebelum
ku jawab, “ Sama, aku juga tersesat;sejak dua hari yang lalu tepatnya..”
Tanpa
ku sadari, tiba-tiba saja dia sudah berjalan di depanku. Dalam diam aku
mengikutinya.
“Sudah
makan?”
“Belum,
jawabku.”
Tangannya
berusaha mengapai-gapai sesuatu di balik rimbunan daun yang menjuntai dari atas
tadi. Shshshrrroggh, dalam sekejap aku melihat tangannya menggenggam sesuatu.
“Ini,
makanlah...”
“Apa
ini? Tanyaku.”
“Entahlah,
aku sendiri tak tahu apa itu. Buah itu aman. Kalau beracun, pastilah aku sudah
mati sejak dua hari yang lalu, hihihi...
Lagi-lagi
dia terkikik.
“Terima
kasih, balasku.”
Ku
usap buah tadi ke jaket mantelku, ku gigit daaaan...
Ada
sensasi yang aneh tiba-tiba muncul dalam tubuhku. Mendadak rasanya enak, tanpa
penat. “Apa ini? Tanyaku lagi.
“Apa
kau merasakannya? Tubuhmu bugar? Jawabnya.”
“Bagus,
itulah pengganjal perutmu saat ini. Kita tidak bisa berhenti dan duduk, kita
akan terus berjalan dan sesekali memakan buah tadi.”
“Kenapa?
Apa banyak singa mengintai kita? Bukankah malam hari gelap? Kita tidak punya
apa-apa. Bagaimana kau melihat saat malam tiba?
“Tidak.
Sama sekali tidak ada singa dan hewan buas lainnya di sini. Oh ya. Kau baru
tersesat, pantas saja tidak tahu. Di sini tidak pernah gelap.”
“Lantas
kenapa kita harus berjalan terus seperti ini?”
“Kau
ingin tahu? Baiklah.. kita duduk sebentar di sana. Sambil menunjuk pinggiran
sungai dia terus berjalan. Aku mengikutinya dari belakang.
Sambil
mengamati dan meneguk air sungai nan jernih, aku mengusap-usap wajah kusutku.
Ku lihat dia juga melakukan hal yang sama.
Dengan
alis terangkat, spontan aku teriak Aaaaaaaaaaaa !! Kenapa wajahku membengkak? Tubuhku??
Ohhhh !! aku terhenyak kaget melihatnya membengkak sama sepertiku.
Tubuh
kami membengkak.
“Sekarang
kau sudah tahu? Itulah kenapa aku terus mengajakmu berjalan, jangan berhenti,
katanya sambil mengelus pipiku.”
“Aneh,
siapa dia? gumamku dalam hati.”
Sepanjang
perjalanan aku terus terdiam. Tak ada satu pun diantara kami yang berkenalan.
Aku hanya mengikutinya karena instingku bilang itu lebih aman. Dan tubuh kami
pun kembali normal.
Seperti tidak ada sekat, jalanan di sini lurus dan panjang.
Aku lupa bahwa aku tersesat dengannya. Orang aneh yang cerdas, pikirku.”
Sedikit
melambat, tangannya menjulur ke arahku. “Makanlah..”
Lagi-lagi
dia sorongkan buah aneh itu ke arahku. “Terima kasih, balasku.”
“Jangan
sungkan hihihi, timpalnya.”
Ku
rasakan tubuhku kembali bugar. Kakiku yang tadinya linu karena terus berjalan,
kini terasa ringan. “Seandainya buah ini bisa ku bawa pulang-sudah pasti semua
orang senang; tidak perlu berebut pekerjaan demi ikan dan nasi, khayalku.”
“Hei!
Bentaknya lirih. Apa kau masih bersamaku?”
“Oh,
maaf jawabku.” Darimana kau tahu aku melamun? tanyaku balik.”
“Jalanmu
terseok-seok, balasnya.”
“Kenapa
kau tak pernah menanyai namaku?”
“Karena
aku sudah tahu namamu.”
Sambil menoleh dia tersenyum.
“Aku
akan mengantarmu pulang.” Darimana kau tahu aku ingin pulang? balasku.”
“Dari
lamunanmu tadi, jawabnya.”
Ah,
aku pikir dia hanya ingin menghiburku. Mana mungkin dia bisa membaca pikiranku.
Kami sama-sama tersesat. Mana ada orang tersesat seperti itu? Pikiranku
berkecamuk.
“Aku
bercanda, hihihi... dia terkikik di depanku.
“Sudah
ku duga, batinku.”
“Baiklah,
kenapa kita tidak berkenalan? tanyaku lagi.”
Dengan
nada berat dia pun menjawab, “Kalau kau ingin tahu namaku dan aku pun
demikian-kita tidak akan bisa pulang.”
Benarkah? Kenapa aku harus percaya padanya? Tapi,
seandainya aku berjalan sendirian aku tidak akan pernah sampai ke sini. Pasti
aku kelaparan dan pingsan sejak tadi. Dialah yang menolongku. Sebaiknya ku
buang jauh-jauh niat berkenalan itu. Yang terpenting adalah aku bisa pulang.
Mungkin setelah itu bisa ku ambil lagi niat perkenalan tadi, pikirku.
“Satu-satunya
jalan yang bisa kita tempuh untuk pulang adalah harapan. Harapan bahwa kau
masih ingin tahu siapa aku, berkenalan denganku begitu juga sebaliknya.” dia menambahkan dengan nada serius.
Aku
pun mengangguk, setuju.
Berjalan,
kami terus berjalan sambil sesekali memakan buah aneh agar tubuh kami tetap
bugar dan bisa terus melanjutkan perjalanan pulang. Jalan ini memang tidak
berkelok, bahkan dari jauh pun kami tidak akan bisa menebak apa di ujung sana
ada kejutan atau tidak. Satu-satunya hal yang kami miliki adalah harapan itu.
Kami
tak lagi peduli seperti apa kondisi kami sekarang. Jaket mantelku mulai kubas.
Meskipun tubuhku terasa bugar, mukaku terasa berat dan tebal. Bagaimana tidak,
kami tak pernah mandi. Mana mungkin kami bisa mandi jikalau kami berhenti dan
menyeka wajah dengan air sungai saja
tubuh kami terus menggelembung dan membengkak seperti balon. Meskipun ini aneh,
aku mulai terbiasa dengannya. Kadang sepanjang perjalanan hanya derak kaki kami
yang ada. Tak satu pun dari kami bersuara.
Perjalanan kami pun sudah semakin jauh. Aku mulai sadar kalau dia tak sesering
seperti sebelumnya menyorongiku buah aneh itu. Anehnya, aku tak mengeluh.
Setengah sadar dan tidak, ku usap-usap mataku antara percaya atau halusinasi-sekarang aku berjalan terhuyung sendirian!! Astaga, ke mana perginya lelaki itu!! Aku panik
melihat sekelilingku. Ku rasakan sepeerti ada sesuatu di tangan kananku. Ku
lihat ada secarik kertas ku genggam. Ku amati kertas itu, dan secepat kilat ku
baca isinya.
“selamat, kamu berhasil
melewati semuanya..
Tak ada yang lebih berharga
dalam dirimu sendiri kecuali keyakinan dan harapan yang terus kau jaga di sana,
di hatimu...”
Masa lalu
Harapan dan keyakinan, itu yang akan membuat kita semangat menjalani hidup...
ReplyDeleteSalam, Ajeng!
:D