Puthu Ayu di Banjarmasin, Curhat dan Teriknya Hari itu

Aku tidak hanya berharap pada kesempatan waktu saat ini, tapi aku benar-benar meminta jika saja kalian mau memberi. Ini bukan simpatik, tapi ini empati. Sejauh apa kalian bisa menerawang kehidupan saat ini, mari bersama-sama teman (muda-tua) jalani kehidupan dengan baik yang ndak cuman baik-baik. Gunakanlah waktu yang semakin sempit ini untuk kehidupan yang layak. Kamu lebih tahu apa makna layak yang aku maksud sekarang. Ini luas sekali, dan ini kebahagiaan setiap orang bukan per-orang saja. Zaman semakin tenggelam mundur saja, apakah kamu mau berdiam diri??? Aku tidak mau, karena aku bukan orang bodoh!

Hari itu cerah sekali ku jelang. Dari pagi hingga siang. Panas, pengap dan debu menderu. Aku tak bosan, takkan lagi bosan. Karena inilah wujud kemunduran zaman dan kebengisan insan. Pemimpin mulai lupa, yang lupa justru ngelupa. Yang ingat bisa kita hitung dengan jari. Sementara yang sedang tak lagi sedang makin menjadi-jadi. Cobaan tak membuat dia lemah dan sadar. Malah dia semakin lupa. Tapi, sudahlah. Ada 2 malaikat di samping kanan dan kirimu. Tak pernah tidur...

Mungkin Abi sekarang seumuran dan keriput seperti beliau. Siang itu aku mendengar ngiungan khas Puthu Ayu. Aku senang, aku nantikan sampai ku dapati beliau berhenti oleh panggilanku. "Paman, nukar..."

Berhenti dan mulailah beliau meracik. Kepyaran tepung berwanakan hijau. Dimasukan ke cetakan bentuk tabung, terbuat dari bambu-ramping sekali bentuknya kawan!

Ku amati setiap detail gerak-gerik tangan Beliau. Sesekali ku amati keriput di wajahnya. Mulai ku tanyakan sejak kapan Beliau berjualan ini, beliau tinggal di mana blablabla. Ternyata Beliau lebih lama tinggal di Banjarmasin ketimbang aku-segala macam kerja serabutan beliau kerjakan. Dan kini bertahan dengan pekerjaan ini. "Sing penting  halal pak, sahutku."

 Beliau bilang siang itu panas sekali. Aku hanya tersenyum mengiyakan. Oleh sebab itu kenapa-tepung berwarna menyejukkan itu kering sekali, butiran gula merahnya juga. Beliau menanyakan manis apa sedang, ku jawab "manis".

Beliau tanyakan dari mana asalku, ku jawablah pertanyaan itu. Kami sama-sama orang Jawa, bedanya beliau dari Jawa Tengah sementara aku Timur. Ku jelaskan kacau-balaunya bahasa Jawaku sekarang. "Aku tak ingin bahasa ini lenyap, batinku".

Aku berpindah arah, ku potret rombongnya dengan kemiringan cameraku. Sudah lama sekali sejak 2005 lalu aku merindu. Tanah Jawa dan desanya-tempat di mana aku dilahirkan serta sekian tahun dibesarkan jauh dari mereka, kedua orang-tuaku.

Meskipun rasanya tidak begitu nikmat seperti masa kecilku dulu. Puthu ayu ini mengobati kerinduanku. Jajanan Jawa yang hampir punah. Aku katakan pada beliau, "Jarang-jarang lho pak ada yang jualan Puthu Ayu di sini."

Setelah lima ribu rupiah (dapat sepuluh Puthu Ayu)-ku berikan dengan ucapan "tukar", ku pegang kertas minyak-lapis koran dengan kepulan asap Puthu Ayu menyerbu. Beliau berlalu, aku pun melangkah pergi. "Masih panas, baunya... khas banget!"

Kalian tahu, beliau bilang mencari pekerjaan sekarang tidaklah mudah. Panasnya siang itu membuatnya mengeluh dengan kesabaran penuh. Aku terpaku...

Saat Abi menelponku...
Aku pandai bermain kata, mengurai semuanya...

Namun kadang lidahku kelu, dan aku pun membisu...

Aku tahu beliau sangat ingin ku dampingi di sana...

Mengabdikan tubuh yang tak seberapa...

Kasih sayangnya sepanjang zaman . . .

Ingin sekali ku ungkapkan sesuatu yang membuat kalian melek mata!